Aku memaksa diri untuk membuat catatan penghujung tahun. Sesuatu yang sebelumnya tak pernah kulakukan. Rasanya sudah lama sekali ingin, namun waktu tidak memberiku celah barang sebentar saja untuk membuka pikiran, menuangkan kata-kata yang menjejali kepala. Mengemasnya dengan alur yang bersahaja di tiap jengkal cerita. Hingga menjadi arsip cerita manis bila dicermati.
Hmm sebenarnya ada banyak kejadian yang bisa diceritakan. Namun, semuanya bertumpuk, semuanya minta didahulukan untuk diarsipkan. aaarrggghhhh
okay, aku mulai dari dua puluh dua. Angka yang sekarang aku injak. Ahh cepat sekali roda hidup berputar membawaku di titik dua puluh dua. Rasanya sudah tak pentas lagi bermanja-manja. Mungkin lebih pantas jika aku sendiri di bawah hujan, menapaki bermil-mil jalan kehidupan. ahh, tapi aku tak mau kesepian. Aku butuh teman, busur pelangi dan mentari.
Cerita silam, terlalu banyak benci yang dihadirkan masing-masing karakter. Terlalu banyak juga rasa ingin menjauhinya. Sebenarnya salah siapa ? hmm setelah aku pikirkan lagi, akulah sumber kesalahannya. Hidup sepatutnya saling mengerti, memahami, tidak egois, bukan melulu lebay mengartikan semua alpa hingga akhirnya meniupkan angin kebencian. Tapi dan tapi, kalau memang tidak suka, lebih baik aku menjauhi. Aku bukan orang yang pandai menerima pribadi yang mudah menyakiti. Apalagi menciptakan luka hati. Tetapi kemudian aku menyadari, bahwa aku harus membuka hati. Dengan bijak membuka ruang bagi mereka yang menggerogoti hati, karena aku juga tak suka memiliki Lawan. Perlahan aku mencoba, dan semoga berhasil :)
Lelaki Oktober, ahhh rasanya akan boros airmata bila mereka-reka lima belas purnama yang telah berlalu bersama harapan dan kenangan sosok gagah itu. Seribu alur yang telah kita tapaki, yang tak jarang menghadirkan sembilu hati, terkemas dalam harmoni kasih. Ahh apakah ini masih layak untuk disebut harmoni kasih ? hmm entahlah, keseluruhan aku hanya ingin mengenangnya dengan indah. Aku tidak sedang ingin mengutarakan kalimat cinta bersajak puisi. Aku hanya ingin membagi bahagia yang pernah aku alami bersamamu, lelaki oktober yang tak kenal lelah berpacu.
Lima belas purnama yang lalu, memang singkat. Sesingkat aku menonton film "Habibie & Ainun". Namun, pita memori di otak ini nampaknya tak pernah kusut, walau terus aku perintah untuk memutar kembali saat-saat pertama aku dan kamu bertemu. Seperti kebanyakan FTV mungkin, sepasang remaja untuk pertama kali mengikat janji ditengah hamparan kebun teh. :-)
Aku begitu kesulitan dengan detail tiap cerita, aku ingat tetapi aku mengendalikannya untuk tak menumpahkannya disini. Aku tau banyak hal yang semestinya hanya kita berdua saja yang tau.
Siang ketika kau mengajakku jalan-jalan di kebun teh, kau tahu ? itu bukan diriku. Saat itu, aku tidak banyak bercerita dan narsis berfoto-foto ria. Aku memilih menjadi sosok yang sedikit diam, aku masih asing denganmu, dan caramu memperlakukanku. Saat kau tersenyum, aku balas dengan senyum. Senyum itu mengandung sedikit harapan meminta kepastian. Kau tahu, kau masih baru. Yang "lama" sudah aku lupakan, walau belum seutuhnya hilang.
Siang menjelang sore itu dipastikan kabut segera turun. Kau mengajakku beranjak. Kita menuju tempat pertama kali kau mengucapkan "mau?". Aku terhenyak. Ada rasa takut disitu. Kau melafalkannya dengan tegas. Dan aku memilihmu. Tidak selalu indah, tapi aku selalu yakin kau dan aku tidak ada yang berubah, kita hanya menampakkan sifat asli masing-masing. Walau kini, kau telah patahkan sayapku.
Namun, benci yang ada banyak terselimuti oleh kasih yang mendominasi. Maka di satu waktu aku pernah berpikir, kau dengan kehidupanmu dan aku dengan jalanku. Kita, dua yang masih banyak berbeda, tapi aku masih mau mencoba menjadi satu. Entah esok akan seperti apa, saat ini aku hanya ingin bilang padamu, kau bagian terindah yang pernah ada walau mungkin kau tak merasakan yang sama terhadapku.
"Hey kau lelaki oktober, sang ajudan yang gagah, kita pernah ada di satu masa bersama."